Ayah Kembalikan Tanganku
Karya Harie Insani
Putra
Dimuat di Radar
Banjarmasin
KARENA biaya hidup di kota besar serba sulit,
biaya makan mahal, pakaian yang dikenakan juga mahal maka sepasang suami istri
itu keduanya harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka yang kian
bervariasi.
Karena semuanya serba
mahal maka semuanya juga harus mensiasati tingkah laku keadaan, keadaan di mana
semua toko-toko bak raksasa dengan berbusana cinderella mempertontonkan
keistimewaan barang-barang baru yang mau tak mau cara-cara semacam itu semakin
banyak ditiru. Dan dari situlah predikat kota terlihat nampak jelas; mahal, dan
kota industri memaksa manusia-manusia kota menjadi konsumtif dengan
produk-produk temuannya.
Sepasang suami istri
itu juga semakin bertingkah laku seperti kebiasaan hidup di kota-kota besar,
meninggalkan anak mereka untuk diasuh oleh seorang pembantu rumah tangga.
Siang ini, pembantunya
membiarkan Niyah sendirian bermain di rumah. Karena memang pekerjaannya tidak
hanya untuk mengurusi anak majikannya saja. Dapur dan pembantu lebih akrab
kedengarannya, itulah sebab kenapa pembantu harus ada. Kehidupan kota membuat
jarak antara wanita dan dapur, bahkan pembantu lebih hafal sudut-sudut rumah
ketimbang majikannya.
Niyah asyik bermain di
atas ayunan yang dibeli ayahnya. Hampir setiap hari ia selalu begitu, terkadang
memetik beberapa tangkai bunga melati, bunga kertas dan sedikit mengumpulkan
pasir sekadar bermain masak-masakan seorang diri menirukan cara pembantunya
ketika sedang memasak.
Dengan tangannya yang
mungil, Niyah meraup pasir itu berulangkali. Harapannya dengan memasak lebih
banyak ia bisa sedikit membagikannya pada si Moli, kucing kesayangannya. Niyah
terus berfantasi hingga pada akhirnya ia melihat sebatang paku karat menyembul
di antara pasir yang hendak diraupnya.
Niyah mengurungkan
niatnya memasak, dibawanya paku karat itu di sebuah sudut dekat garasi mobil.
Diapun mulai menggambari lantai itu, tetapi karena lantainya terbuat dari
marmer, coretannya itu tidak nampak jelas olehnya. Ia kemudian berpindah ke
tempat lain, juga masih coretannya belum nampak jelas. Niyah mendekati mobil
baru ayahnya, pelan Niyah mencoba menempelkan ujung paku itu, betapa gembiranya
Niyah melihat usahanya membuat garis melingkar berhasil. Ya…karena warna mobil
itu gelap, coretannya sudah pasti tampak jelas. Ia kemudian terus menggambar
seperti layaknya kanak-kanak, pertama-tama ia menggambar gunung dengan matahari
di tengah-tengahnya. Saat itu, sengaja orang tuanya menggunakan sepeda motor ke
tempat kerja karena jalanan macet oleh sebab demonstrasi para mahasiswa yang
menuntut agar pergantian presiden dipercepat karena dinilai tidak lagi
mendengarkan aspirasi rakyatnya.
Setelah penuh coretan
yang sebelah kanan, dia berpindah ke sebelah kiri. Dia segera membuat gambar
ibu dan ayahnya, kemudian di tengah ia menggandeng kedua tangan orang tuanya.
Belum puas dengan itu
semua, dia kemudian menggambar ayam, kucing, ikan dan bunga-bunga sebagaimana
mengikuti imajinasinya. Dia terus saja menggambar sementara pembantu rumah
sedang sibuk bekerja di dapur.
***
Saat petang tiba,
akhir dari sebuah rutinitas kesibukan berakhir, kedua pasangan suami istri itu
pulang dengan wajah yang lelah sehabis seharian bekerja. Ketika si ayah hendak
memasukkan sepeda motornya ke garasi, detak jantungnya berdegup kencang. Ia
terkejut melihat mobil yang baru dibelinya sudah berganti rupa, mobil yang
belum lunas itu sudah dipenuhi coretan-coretan. Ia membalikkan badannya
beberapa kali memutari mobilnya itu, semuanya penuh. Warna gelap kesukaannya
berhias garis-garis putih yang melurus, melengkung memenuhi semua bagian depan,
belakang dan samping mobilnya. Pada tempat tertentu, coretan itu ada yang
melesak jauh ke dalam seakan di antara garis tipis-tipis yang mengitari bulatan
itu adalah matahari yang sedang menyala, matahari yang panas, matahari yang
menyengat. Si ayah yang belum lagi masuk ke dalam ini pun terus menjerit
sekerasnya.
“Siapa yang
mencoret-coret mobil ini!!!?”
Pembantu rumah
tersentak dan lekas-lekas berlari menengok keluar diikuti istrinya. Keduanya
terkejut bukan kepalang. Pembantu itu mengelus dadanya sambil beristighfar.
Raut mukanya pucat menahan takut lebih-lebih menyaksikan tatapan wajah tuannya
yang bengis seakan ingin menelan tubuhnya.
Dua kali bertanya, dua
kali pula pembantunya itu terkejut mendengar bentakan tuannya.
Melihat itu semua si
istri mulai berang, lima centimeter dari wajah pembantunya si istri mendamprat
dengan sekeras-kerasnya.
“Tak tahu, nyonya…,”
jawab pembantu itu semakin ketakutan, apalagi melihat bola mata nyonyanya itu
membulat besar melototinya.
“Lantas apa saja yang
kau buat sepanjang hari di rumah?” hardik si istri begitu geram senada
kemarahan yang diluapkan oleh suaminya.
Dari dalam, si anak
yang mendengar suara kedua orangtuanya, lantas keluar dari kamar. Ia sudah
biasa seperti itu, kedatangan kedua orang tuanya adalah saat-saat yang
membahagiakan. Sampai di luar dengan penuh manja dia berkata; “Niyah yang
membuat itu ayah…baguskan?” katanya sambil memeluk ayahnya ingin bermanja
seperti biasa. Si ayah yang sudah hilang sabarnya segera mematah sebatang dahan
kecil dari pohon bonsai terus dipukulkan berkali-kali ke telapak tangan
anaknya. Niyah menjerit kesakitan meminta tolong pada ibunya, tapi sang ibu
hanya diam. Apalagi ketika suaminya semakin keras memukul kedua bagian dari
telapak tangannya seolah merestui dan ikut puas dengan hukuman yang dijatuhkan
suaminya. Hukuman yang pantas untuk anak yang nakal.
Pembantu rumah
terbengong, tidak tahu hendak berbuat apa, si ayah dengan sekuat tenaga terus
bergantian memukuli tangan kanan dan kiri anaknya secara bergantian. Niyah
meronta-ronta, menangis sangat hebatnya. Setelah menyadari banyak darah yang
keluar, si ayah baru melepaskan tangan anaknya itu dan segera masuk ke rumah
diikuti oleh istrinya.
Pembantu itu ngeri
melihat kucuran darah yang berceceran di lantai. Ia segera menggendong Niyah
masuk ke dalam rumah dan membawanya ke kamar. Niyah terus saja menangis menahan
pedih yang tak kira sakitnya ketika pembantu itu dengan hati-hati mmbersihkan
luka tangan Niyah. Setelah tangan Niyah terbungkus perban, pembantu rumah
segera memandikan Niyah. Sambil menyiram air, sambil ikut menangis, Niyah
menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukannya terkena air. Usai itu, pembantu
rumah kemudian menidurkan Niyah dan si bapak sengaja membiarkan anaknya itu
tidur bersama pembantu rumah.
***
Tiba esok harinya,
kedua belah tangan Niyah bengkak. Sebelum kedua majikannya berangkat seperti
biasa. Pembantu rumah mengadukan perihal tangan Niyah.
“Oleskan obat saja!”
begitu perintah Tuannya dengan acuh. Mukannya masih bersungut-sungut ketika
memaksa pandangannya diarahkan pada mobilnya.
Pulang dari kerja, dia
tidak memperhatikan anaknya itu yang hampir seharian tidak keluar dari kamar
pembantu. Malahan si bapak berniat kembali memarahi Niyah, namun urung saat
pembantunya bilang kalau Niyah sedang tidur. Setiap kali memandang mobil itu
selalu bathin si ayah selalu tertekan dan segenap emosinya memuncak untuk
menumpahkannya kembali pada Niyah.
Tiga hari terlewati,
lepas begitu saja dan berlalu tanpa si ayah dan si ibu menjenguk Niyah di dalam
kamar pembantunya. Perhatian mereka sebatas bertanya saja bagaimana keadaan
Niyah pada pembantunya.
“Niyah demam…,” suatu
kali jawab pembantunya ringkas.
“Kasih minum panadol,”
jawab si ibu lalu masuk kamar tidurnya.
Masuk hari keempat, pembantu
rumah memberitahukan majikannya kalau suhu badan Niyah terlalu panas.
“Sore nanti saja kita
bawa ke dokter praktek,” kata majikannya itu sambil bergegas berangkat kerja.
Sampai saatnya si anak
yang sudah lemah dibawa ke dokter praktek. Dokter mengarahkan agar Niyah
dirujuk ke rumah sakit karena keadaannya yang serius. Setelah seminggu rawat
inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu.
“Tidak ada pilihan…,”
katanya mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena infeksi dan
segala macam yang terjadi sudah terlalu parah.
“Jaringan organ kulit
bagian dalam tangannya sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya, kedua
tangan itu perlu di potong dari siku ke bawah.” Ucap dokter.
Si ayah dan si ibu
bagaikan terkena halilintar setelah mendengar kata-kata itu. Dunia terasa
berhenti berputar, tapi apa lagi yang dapat dikata. Si ibu meraung menerobos
tubuh dokter itu dan segera merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan
air mata istrinya, si bapak gemetar menandatangani surat persetujuan pembedahan.
Keluar dari bilik pembedahan, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak
menangis kesakitan. Dia heran melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Di
tatapnya muka si ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia
mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis.
Dengan menahan sakit,
si anak bersuara dalam linangan air mata ;
“Ayah…ibu…Niyah tidak
akan mencoret-coret mobil lagi. Niyah tak mau ayah pukul. Niyah sayang
ayah…sayang ibu,” ucapnya berulangkali membuat si ibu gagal menahan sedihnya.
“Niyah juga sayang kak
Ita…,” katanya memandangi wajah pembantunya yang kemudian meraung menyaksikan
Niyah yang tak berdaya seperti itu.
“Ayah…kembalikan
tangan Niyah. Untuk apa ambil tangan Niyah. Sungguh, Niyah janji tidak akan
mengulanginya lagi. Bagaimana caranya Niyah mau makan nanti? Bagaimana Niyah
mau bermain? Niyah janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi,” ucapnya
berulang-ulang.
Serasa lepas jantung
si ibu mendengar kata-kata anaknya. Ia meraung dan berteriak memukuli dada
suaminya dengan sekuat hati meluapkan kesedihannya. Tak lama kemudian si ayah
dengan perasaan kalut menuju tempat mobilnya di parkir, lukisan matahari, ayam,
kucing dan bunga itupun kini telah remuk kehilangan bentuk aslinya di sana, di
bawah jurang. Dan esoknya mereka kembali rutin bekerja, bekerja yang sia-sia
untuk merawat luka-luka.***
0 komentar:
Posting Komentar